ISLAM memerintahkan umatnya mencari rezeki halal
atau memakan makanan yang halal. Para koruptor, “makelar kasus”, dan
penerima suap di kalangan “oknum” pejabat, jelas melanggar hukum Allah
SWT dan harus menerima akibatnya: hidup tidak berkah, dikutuk Allah dan
rakyat, anak-istri ikut menderita karena dinafkahi rezeki haram, dan
sebagainya.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya” (QS. Al-Maidah: 88).
Nabi Saw menegaskan, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di
Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, ‘Barangsiapa
memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan
fardhunya’.”
Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar –seperti dikutip Imam Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin– memperkuatnya:
“Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga
kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan
puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’ (berhati-hati atas makanan
haram).”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengisahkan seorang pengembara yang
menengadahkan tangannya ke langit, berdoa memohon pertolongan Allah SWT.
Terucap dari mulutnya: “Ya Rabbi, Ya Rabbi!” Namun, menurut Rasul, doa pengembara tersebut tidak dikabulkan. Mengapa? “Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya, sedang makanan, minuman, dan pakaiannya haram?” jelas Rasul (HR. Muslim).
Kisah pengembara itu secara jelas mengabarkan, doa orang yang suka
memakan makanan haram atau meminum minuman dan memakai pakaian yang
haram, tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda, setiap tubuh yang
dibesarkan dengan cara yang haram, maka neraka lebih layak baginya. “Makanan haram termasuk kotoran, bukan makanan yang baik,” tulis Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin.
Haram dikategorikan ke dalam dua macam: haram lizatihi dan haram li’ardihi.
Yang pertama adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula,
karena secara tegas mengandung mafsadat (kerusakan), seperti berzina,
mencuri, meminum khamar, memakan daging babi, riba, dan memakan harta
anak yatim (QS. Al-An’am:151, Al-Maidah:90 dan 96, Al-Baqarah:228,
Al-Isra:32, An-Nisa:10).
Haram jenis kedua adalah perbuatan yang pada mulanya tidak
diharamkan, lalu ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari
luar. Misalnya, shalat dengan pakaian hasil tipuan atau bersedekah
dengan harta hasil mencuri.
Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba
(halal lagi baik). Yang harus mendapat perhatian serius adalah “cara”
mendapatkan barang halal tersebut. Pasalnya, barang haram –seperti
daging babi– umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang “cara”,
banyak umat yang mungkin tidak memedulikan halal-haramnya. Padahal,
barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian,
penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram
dikonsumsi.
Di akhirat nanti, ihwal menyangkut harta kekayaan akan dimintai
pertanggungjawabannya dari berbagai arah: dari mana didapatkan,
bagaimana mendapatkannya, dan digunakan untuk apa? Jika harta didapat
dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan
Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas
penggunaan. Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara
mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta
tersebut.
Lembutkan Hati
Makanan haram akan mengeraskan hati. Mereka yang mengkonsumsi makanan
haram atau dari rezeki yang tidak halal (seperti hasil korupsi dan
suap), hatinya akan sulit menerima kebenaran, bahkan hidayah. Hatinya
akan keras sekeras batu dan baja, sehingga cahaya kebenaran sulit masuk
ke dalam jiwa mereka.
Sebaliknya, makanan halal dapat melembutkan hati kita. Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya seseorang. “Apa yang bisa melembutkan hati, Wahai Abu Abdillah?” Sejenak Imam Hambal merenung, lalu menjawab, “Makanan halal”.
Hati yang lembut akan memudahkan penerimaannya atas kebenaran Ilahi.
Sebaliknya, hati yang keras akan sangat sulit menerima kebenaran Ilahi
dan sebaliknya justru mudah menerima kemaksiatan dan kemunkaran.
Jadi, makanan haram bukan saja mengeraskan hati, tetapi juga membuat
seseorang terhalang kemakbulan doanya kepada Allah SWT. Meski dalam
sebuah firman-Nya, Allah menyatakan akan mengabulkan setiap doa
hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, makanan halal akan melembutkan hati
sekaligus menjadikan doa kita makbul, dipenuhi oleh-Nya.
Akibat mencari rezeki yang tidak halal, bahkan sudah terlihat di
dunia. Lihat saja, betapa menderita dan terhina para koruptor, makelar
kasus, penerima suap, perampok uang rakyat, yang belakangan kerap muncul
di media massa. Betapa terhinanya mereka, juga istri, anak, dan kerabat
mereka. Itulah hukuman Allah SWT di dunia.
Kita harus berhati-hati dalam mendapatkan harta atau makanan, agar
darah-daging kita, juga keluarga kita atau mereka yang kebutuhan
hidupnya berada di bawah tanggung jawab kita, terhindar dari barang
haram.
Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar
rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita
dunia-akhirat. Yakinlah, rezeki sudah diatur oleh Allah dan kita tinggal
berikhtiar secara baik-baik. Rezeki tidak akan jatuh ke tangan siapa
pun jika Allah sudah menakdirkannya untuk kita. Allah SWT pun menjamin,
setiap makhluk bernyawa, dibarengi dengan “jatah” rezeki masing-masing.
Tugas kita adalah ikhtiar, tawakal, dan doa.
Izin share ya. Jazakallaahu khoiron katsiiro.
BalasHapus