“Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang?” demikianlah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Ar-Ra’du: 28. Seyogyanya
seorang muslim menghiasi hidupnya dengan memperbanyak dzikir kepada
Allah, di mana dan kapan pun juga. Ketenangan jiwa dan kenyamanan hidup
hanya didapat oleh seorang manusia dengan berdzikir kepada Allah.
Tentunya ‘dzikir’ dengan makna yang lebih luas cakupannya, bukan sebatas
dzikir dengan lisan saja sebagaimana yang banyak kita saksikan hari
ini.
Munculnya penomena majelis dzikir, Indonesia berdzikir, dzikir nasional
dan istilah lainnya sebenarnya sesuatu yang positif. Namun amat
disayangkan, banyak kaum muslimin yang melakukan hal demikian, justru
terjerumus pada banyak kesalahan yang menunjukkan mereka tidak mengerti
bagaimana dzikir pada hakikatnya.
Sebagai contoh, ada seorang ibu muda yang aktif mengikuti ‘majelis
dzikir’. Kecintaannya pada dzikir begitu mempesona. Bahkan dia tidak
canggung mengajak teman-temannya dari kalangan para ibu untuk mengikuti
kegiatan tersebut. Tapi, bila kita lihat kehidupannya sehari-hari
sungguh memprihatinkan. Keluar rumah tanpa menutup auratnya, ngobrol
dengan kaum pria yang bukan mahromnya begitu ‘nyantainya’.
Lantas di mana buah dzkir yang selama ini ia lakukan? Apa dzikir itu sendiri? Apakah dzikir itu hanya sebatas di lisan saja?
Tema kita kali ini akan membahas seputar dzikir dan hakikatnya yang
sebenarnya, agar dzikir yang kita lakukan benar di mata Allah dan juga
di mata manusia.
Urgensi dan Kedudukan Dzikir
Satu kepastian bahwa dzikir dan do’a adalah sebaik-baik amalan yang
mendekatkan diri seorang muslim kepada Rabbnya, bahkan ia merupakan
kunci semua kebaikan yang diinginkan seorang hamba di dunia dan akhirat.
Kapan saja yang Alah Ta’ala berikan kunci ini pada seorang hamba maka
Allah Ta’ala inginkan ia membukanya dan jika Allah menyesatkannya maja
pintu kebaikan tersisa jauh darinya, sehingga hatinya gundah gulana,
bingung, pikiran kalut, depresi dan lemah semangat dan keinginannya.
Apabila ia menjaga dzikir dan do’a serta terus berlindung kepada Allah
maka hatinya akan tenang, sebagaiman firman Allah :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du :28)
Allah berfirman menjelaskan arti penting dan kedudukan dzikir dalam banyak ayatnya, diantaranya:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ
وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ
وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ
وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم
مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab :35)
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
menjelaskan secara gamblang arti penting dan kedudukan dzikir pada diri
seorang muslim dalam banyak haditsnya, diantaranya:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي
لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Dari Abu Musa , beliau berkata: telah bersabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, “Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dan
yang tidak berdzikir seperti orang yang hidup dan mati.” (HR.
Al-Bukhari)
Dan hadits beliau yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيرُ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ
يُقَالُ لَهُ جُمْدَانُ فَقَالَ سِيرُوا هَذَا جُمْدَانُ سَبَقَ
الْمُفَرِّدُونَ قَالُوا وَمَا الْمُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ
“Dari Abu Hurairah, beliau berkata: “Al-Mufarridun telah mendahului”
mereka bertanya: ‘Siapakah Al-Mufarridun wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab: “Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir.” (HR. Muslim)
Keutamaan dan Fadah Dzikir
Keutamaan dan faedah dzikir sangat banyak sekali, sampai-sampai imam
Ibnul Qayyim menyatakan dalam kitabnya Al-Waabil Ash-Shoyyib bahwa
dzikir memiliki lebih dari seratus faedah dan menyebutkan tujuh puluh
tiga faedah didalam kitab tersebut.
Diantara keutamaan dan faedah dzikir adalah:
1. Dzikir dapat mengusir syaitan dan melindungi orang yang berdzikir
darinya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Dan aku (Yahya bin Zakariya) memerintahkan kalian untuk banyak
berdzikir kepada Allah. Permisalannya itu seperti seseorang yang
dikejar-kejar musuh lalu ia mendatangi benteng yang kokoh dan berlindung
di dalamnya. Demikianlah seorang hamba tidak dapat melindungi dirinya
dari syaitan kecuali dengan dzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan
Ahmad)
Ibnul Qayim memberikan komentarnya terhadap hadits ini: ‘Seandainya
dzikir hanya memiliki satu keutamaan ini saja, maka sudah cukup bagi
seorang hamba untuk tidak lepas lisannya dari dzikir kepada Allah dan
senantiasa gerak berdzikir, karena ia tidak dapat melindungi dirinya
dari musuhnya kecuali dengan dzikir kepada Allah. Para musuh hanya akan
masuk melalui pintu kelalaian dalam keadaan terus mengintainya. Jika ia
lengah maka musuh langsung menerkam dan memangsanya dan jika berdzikir
kepada Alah maka musuh Allah itu meringkuk dan merasa kecil serta
melemah sehingga seperti Al Wash’ (sejenis burung kecil) dan seperti
lalat’.
Manusia ketika lalai dari dzikir maka syaitan langsung menempel dan
menggodanya serta menjadi teman yang selalu menyertainya, sebagaimana
firman Allah:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Rabb) Yang Maha Pemurah
(Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az
Zukhruf:36).
Seorang hamba tidak mampu melindungi dirinya dari syaitan kecuali dengan dzikir kepada Allah.
2. Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan dan depresi dan
dapat mendatangkan ketenangan, kebahagian dan kelapangan hidup. Hal ini
dijelaskan Allah dalam firmanNya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du :28)
3. Dzikir dapat menghidupkan hati, bahkan dzikir itu sendiri pada
hakekatnya adalah kehidupan bagi hati tersebut. Apabila hati kehilangan
dzikir maka seakan-akan kehilangan kehidupannya sehingga tidak hidup
sebuah hati tanpa dzikir kepada Allah. Oleh karena itu Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata: ‘Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan, lalu
bagaimana keadaan ikan jika kehilangan air?’
4. Dzikir menghapus dosa dan menyelamatkannya dari adzab Allah,
karena dzikir merupakan satu kebaikan yang besar dan kebaikan menghapus
dosa dan menghilangkannya. Tentunya hal ini dapat menyelamatkan orang
yang berdzikir dari adzab Allah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam :
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا قَطُّ أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang lebih
menyelamatkan dirinya dari adzab Allah dari dzikrullah.” (HR. Imam Ahmad
dalam Al-Musnadnya)
5. Dzikir menghasilkan pahala, keutamaan dan karunia Allah yang tidak
dihasilkan selainnya, padahal sangat mudah mengamalkannya, karena
gerakan lisan lebih mudah dari gerakan anggota tubuh lainnya. Diantara
pahala dzikir yang disebutkan Rasulullah adalah:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ
مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ
مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ
حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ
أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ
ذَلِكَ
“Barang siapa mengucapkan (dzikir):
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
dalam sehari seratus kali, maka itu sama dengan pahala sepulih budak,
ditulis seratus kebaikan untuknya dan dihapus seratus dosanya. Juga
menjadi pelindungnya dari syeitan pada hari itu sampai sore dan tidak
ada satupun yang lebih utama dari amalannya kecuali seorang yang beamal
dengan amalan yang lebih banyak dari hal itu.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Ibnul Qayim berkata: ‘Dzikir adalah ibadah yang paling mudah namun
paling agung dan utama, karena gerakan lisan adalah gerakan anggota
tubuh yang paling ringan dan mudah. Seandainya satu anggota tubuh
manusia sehari semalam bergerak seukuran gerakan lisannya, tentulah hal
itu sangat menyusahkannya sekali, bahkan tidak mampu.’
6. Dzikir adalah tanaman jannah. Ini berlandaskan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Abdillah bin Mas’ud yang
berbunyi:
لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ
أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ
طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَأَنَّهَا قِيعَانٌ وَأَنَّ
غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
“Aku berjumpa dengan Ibrohim pada malam isra’ dan mi’roj, lalu ia
berkata: “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu dan
beritahulah mereka bahwa jannah memiliki tanah yang terbaik dan air yang
paling menyejukkan. Jannah itu dataran kosong (Qai’aan) dan tumbuhannya
adalah (dzikir) Subhanallahi Walhamdulillah Walaa ilaha illa Allah
Wallahu Akbar.” (HR. At-Tirmidzi)
7. Dzikir menjadi cahaya penerang bagi yang berdzikir di dunia, di
alam kubur dan di akhirat. Meneranginya di shirota, sehingga tidaklah
hati dan kuburan memiliki cahaya seperti cahaya dzikrullah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya.” (QS. Al-An’am:122)
8. Dzikir menjadi sebab mendapatkan shalawat dari Allah dan para malaikatNya, sebagamana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari
kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang
kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzaab:41-43)
9. Banyak berdzikir dapat menjauhkan seseorang dari kemunafikan,
karena orang munafik sangat sedikit berdzikir kepada Allah, sebagiamana
firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit
sekali.” (QS. An-Nisaa’:142)
Shahabat Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Khawarij: “Apakah mereka
munafiq atau bukan?” Beliau menjawab: “Orang munafik tidak berdzikir
kepada Allah kecuali sedikit.” Ini merupakan alamat kemunafikan, yaitu
sedikit berdzikir kepada Allah. Berdasarkan hal ini maka banyak
berdzikir merupakan pengaman dari kenifakan.
10. Dzikir adalah amalan yang paling baik, paling suci dan paling
tinggi derajatnya, sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ
مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ
إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا
عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ
قَالُوا بَلَى قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى
“Inginkah kalian aku beritahu amalan kalian yang terbaik dan tersuci
serta tertinggi pada derajat kalian, ia lebih baik dari berinfak emas
dan perak dan lebih baik dari kalian menjumpai musuh lalu kalian
memenggal kepalanya dan mereka memenggal kepala kalian?” Mereka
menjawab: “ya”, lalu Rasulullah menjawab: “Dzikrullah.” (HR.
At-Tirmidzi)
khoirul Ummah
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab: 41-42).
Senin, 16 April 2012
Berdoa kepada Dzat Yang Maha Dekat
Doa merupakan inti ibadah, demikian Sabda Rasulullah SAW. Dengan demikian doa merupakan sebuah pilar penting dari peribadatan kita. Doa merupakan cermin seorang Muslim yang sangat menggantungkan dirinya kepada Allah SWT.
Dengan kita mengucapkan doa ini maka kita menempatkan diri sebagai seorang hamba yang mengharapkan doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Kita bersikap menghambakan diri kepada Allah SWT. Posisi inilah yang kemudian akan memberikan keyakinan bahwa semua doa akan dijawab Allah SWT.
Allah sendiri berfirman dalam Surat Al Mukin aya 60:
dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”.
Bahkan Allah SWT memuji hambanya yang berdoa kepada Nya seperti tercantum dalam Surat Al Anbiya ayat 90.
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.
Setiap waktu kita berdoa, memohon sesuatu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap hari pula kita menantikan jawaban dari Allah. Dan inilah yang meneguhkan orang beriman bahwa Allah mendengarkan doa hambanya bahkan sekalipun hanya melintas dalam hati apalagi kalau diucapkan dengan nada memohon dan mengharap.
Allah sendiri menegaskan mendengarkan doa hambaNya dan akan mengabulkan permintaannya.
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Kini saatnya kita mengubah orientasi dari memohon kepada mahluk apalagi memmohon kepada benda, menjadi totalitas menggantungkan harapan kepada Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Kaya dan Maha Kuasa pasti akan mengabulkan hambanya yang mengajukan permohonan untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat dalam Ridha-Nya.
Dzikir kepada Allah, sedekah yang paling baik
Setiap orang memiliki harta benda namun tidak setiap orang memiliki
harta berlebih. Kadangkala kita sendiri merasa kurang harta dalam
menjalani kehidupan ini. Tidak jarang ini menimbulkan keresahan,
kegelisahan, takut akan masa depan dan menimbulkan rasa tidak percaya
diri.
Semuanya karena harta benda yang kita miliki sedikit, rumah sederhana, tidak punya kendaraan, kalau pun ada hanya sepeda motor. Sementara kita melihat sekeliling tampak seperti bergelimang harta, dimudahkan dalam perjalanan dan hidup serba nyaman.
Jangan bersedih. Semuanya adalah rezeki Allah. Bersama Allah hati kita menjadi tenang meskipun tanpa harta benda berlebih. Bahwa kita sudah berusaha semaksimal mungkin meraih rezeki Allah namun hanya sedikit yang kita dapatkan, tetaplah bersyukur. Tetaplah berikhtiar lalu bertawakal.
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya: “Hamba yang bagaimanakan yang paling baik di sisi Allah pada hari Kiamat?. Beliau menjawab: “Orang yang banyak berdzikir”.
Maka dengan hadits ini maka posisi yang baik bisa diraih dengan banyak berdzikir kepada Allah.
Bahkan Rasulullah menyatakan jika tidak memiliki kelebihan harta maka ucapkanlah Subhaanallah, Allahu Akbar, Alhamdulillah dan Laa Ilaaha Ilallah.
Dari Abu Dzar rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Alloh telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Setiap lafadz suci ini memiliki pahala seperti pahala sedekah. Hal ini disebabkan lafadz-lafadz itu adalah amalan yang kekal sebagaimana Allah berfirman:
Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al Kahfi: 46)
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)
Semuanya karena harta benda yang kita miliki sedikit, rumah sederhana, tidak punya kendaraan, kalau pun ada hanya sepeda motor. Sementara kita melihat sekeliling tampak seperti bergelimang harta, dimudahkan dalam perjalanan dan hidup serba nyaman.
Jangan bersedih. Semuanya adalah rezeki Allah. Bersama Allah hati kita menjadi tenang meskipun tanpa harta benda berlebih. Bahwa kita sudah berusaha semaksimal mungkin meraih rezeki Allah namun hanya sedikit yang kita dapatkan, tetaplah bersyukur. Tetaplah berikhtiar lalu bertawakal.
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya: “Hamba yang bagaimanakan yang paling baik di sisi Allah pada hari Kiamat?. Beliau menjawab: “Orang yang banyak berdzikir”.
Maka dengan hadits ini maka posisi yang baik bisa diraih dengan banyak berdzikir kepada Allah.
Bahkan Rasulullah menyatakan jika tidak memiliki kelebihan harta maka ucapkanlah Subhaanallah, Allahu Akbar, Alhamdulillah dan Laa Ilaaha Ilallah.
Dari Abu Dzar rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Alloh telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Setiap lafadz suci ini memiliki pahala seperti pahala sedekah. Hal ini disebabkan lafadz-lafadz itu adalah amalan yang kekal sebagaimana Allah berfirman:
Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al Kahfi: 46)
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)
MARI BERDZIKIR KEPADA ALLAH !!!
Dzikrullah, menyebut nama-nama Allah yang mulia dan sifat-sifat-Nya
yang tinggi merupakan suatu ibadah agung yang tak ternilai balasannya.
Lisan yang selalu basah dengan dzikrullah, membaca tasbih, takbir
ataupun tahlil, yang disertai dengan hati yang khusyu’ akan membuahkan
hasil yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata dan tak terbetik pula
oleh bayangan manusia. Hatinya semakin tuma’ninah (tenang dan lapang),
dipenuhi rahmat dan taufiq dari Allah . Sehingga ia mampu menghadapi
semua problematika hidup ini dengan dada yang lapang dan hati yang sabar
sambil mengharap keridhaan Allah . Bukankah Allah telah berfirman?!!!
(artinya):
“Bukankah dengan berdzikir kepada Allah menjadikan hati itu tuma’ninah?.” (Ar Ra’ad: 28)
Bersama kajian kita kali ini, akan dipaparkan tentang urgensi (pentingnya) dzikrullah (berdzikir kepada Allah ) berdasarkan Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Kebutuhan Dzikrullah
Kebutuhan seorang hamba kepada dzikrullah bagaikan tubuhnya yang selalu butuh kepada makan dan minum. Bila ia lupa dari dzikrullah, maka pada hakekatnya ia dalam keadaan mati. Hatinya mati untuk mengagungkan kebesaran penciptanya dan mensucikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Penglihatan dan pendengarannya tiada berfungsi (mati) untuk mengagungkan ayat-ayat kauniyah (kesempurnaan penciptaan alam semesta) dan memperhatikan ayat-ayat syar’iyah (kesempurnaan hukum-hukum Allah ). Dia berjalan dalam keadaan gelap gulita yang tiada dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Tenggelam dalam kekufuran, kezhaliman, kemaksiatan dan kebodohan, yang ia sadari maupun tanpa ia sadari. Sehingga pada hakekatnya ia adalah mati disebabkan lalai dari dzikir kepada Allah, seperti halnya ikan akan mati disebabkan kekeringan. Demikianlah yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (artinya):
“Dan apakah orang yang sudah mati (sebelum mendapat hidayah dan taufiq dari Allah -pent) kemudian Kami hidupkan, lalu Kami berikan kepadanya cahaya yang terang (cahaya ilmu dan iman -pent), maka dengan cahaya tersebut ia bisa berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita (tenggelam dalam kekufuran, kezhaliman dan kemaksiatan) yang sekali-kali ia tidak dapat ke luar darinya? (Al An’am: 122)
Demikian pula Rasulullah juga menegaskan di dalam sabdanya:
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَ الَّذِي لاَيَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَ الْمَيِّتِ
“Permisalan orang yang berdzikir kepada Rabb-NYa dan orang yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.” (H.R. Al Bukhari: 6407, dari Abu Musa Al Asy’ari)
Bahkan Rasulullah menegaskan pula, bahwa rumah yang kosong dari dzikrullah ibarat rumah yang dihuni oleh orang mati. Sebagaimana beliau bersabda:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لاَيُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Permisalan rumah yang digunakan berdzikir pada Allah di dalamnya dan rumah yang tidak digunakan berdzikir pada Allah di dalamnya, seperti orang hidup dan orang yang mati.” ( HR Muslim: 779, dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri )
Kewajiban Dzikrullah
Para pembaca, demikianlah kebutuhan seorang hamba terhadap dzikrullah, atas dasar itulah Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk senantiasa berdzikir kepada-Nya. Di dalam Al Qur’anul Karim sangatlah banyak ayat-ayat yang menunjukkan perintah dzikrullah. Diantaranya perintah dzikrullah secara mutlaq, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kedaannya, maka ia hendaknya selalu berdzikir kepada Allah . Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan sore hari. Dia-lah yang memberi rahmat kepada kalian dan malaikat-Nya (memohonkan ampun untuk kalian) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). ” ( Al Ahzab :41)
Di dalam ayat-ayat Al Qur’an yang lain Allah juga memerintahkan dzikrullah tetapi dikaitkan dengan ibadah-ibadah besar yang lainnya. Maka perhatikanlah ayat-ayat Allah berikut ini:
1. Perintah dzikrullah setelah menunaikan shalat.
Allah berfirman (artinya):
“Jika kalian telah menunaikan shalat maka berdzikirlah kepada Allah sambil berdiri, duduk atau sambil berbaring di atas sisi kalian.” ( An Nisa’ :103)
2. Perintah dzikrullah setelah menunaikan shaum (puasa).
Allah berfirman (artinya):
“Dan sempurnakanlah hitungan puasamu dan bertakbirlah kepada Allah atas hidayah yang Allah berikan kepadamu agar kalian semua bersyukur.” (Al Baqarah :185)
3. Perintah dzikrullah setelah menunaikan haji.
Allah berfirman (artinya):
“Jika kalian telah selesai menunaikan manasik haji kalian maka berdzikirlah kepada Allah, sebagaimana kalian mengingat (membangga-banggakan kebesaran) moyang-moyang kalian atau bahkan berdzikirlah lebih dari itu kepada Allah.” (Al Baqarah :200)
4. Perintah dzikrullah disaat berjihad fii sabilillah.
Allah berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian bertemu kelompok musuh, kokohkanlah diri-diri kalian dan perbanyaklah berdzikir mengingat Allah, agar kalian beruntung.” (Al Anfal: 45)
5. Perintah dzikrullah di dalam segala aktivitas untuk mencari karunia Allah .
Allah berfirman (artinya):
“Jika shalat jum’at telah ditunaikan, maka menyebarlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan perbanyaklah berdzikir kepada Allah agar kalian mendapatkan keberuntungan.” (Al Jumu’ah :10)
Sehingga ibadah dzikrullah merupakan ibadah terbesar. Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dan sungguh berdzikir kepada Allah adalah yang terbesar.” (Al Ankabut :45)
Ayat diatas menerangkan bahwa dzikrullah merupakan ibadah terbesar. Walaupun demikian, hal ini tidaklah bertentangan dengan dalil-dalil yang menerangkan bahwa ibadah shalat, shaum, haji merupakan ibadah yang amat besar pula, bahkan jihad sebagai puncak tertinggi amalan di dalam Islam. Karena tujuan ibadah itu pada hakekatnya untuk berdzikir kepada Allah . Dan ruh amalan-amalan ibadah itu adalah dzikrullah. Sehingga suatu ibadah yang diiringi dengan dzikrullah itu lebih besar daripada ibadah yang kosong dari dzikrullah. Oleh karena itu Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat dalam rangka untuk mengingat-Ku.” (Thaaha :14)
Hakekat Dzikrullah
Hakekat dzikrullah akan membuahkan bagi hamba kesiapan untuk tunduk dan pasrah dalam menerima (melaksanakan) syari’at-syari’at-Nya serta selalu berupaya untuk mencari al haq (kebenaran). Bila ada seseorang yang lisannya senantiasa basah dengan dzikrullah tetapi perbuatannya malah banyak melanggar syari’at Allah dan enggan untuk mencari kebenaran, maka sesungguhnya ia masih belum memahami arti dzikrullah dengan sebenar-benarnya. Padahal Allah berfirman (artinya):
“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu pada dirimu dengan penuh harap akan surga-Nya dan penuh rasa cemas akan siksa-Nya.” (Al A’raf : 205)
Di dalam ayat di atas Allah memerintahakan berdzikir dengan disertai raja’ (penuh harap) akan surga-Nya dan khauf (penuh rasa cemas) akan siksa-Nya. Bagaimana ia berharap akan masuk al jannah (surga), sementara ia masih melalaikan/meninggalkan amalan-amalan yang diwajbkan kepadanya? Dan bagaimana pula ia takut dari siksa-Nya yang amat pedih, sementara ia masih melakukan perbuatan-perbuatan keji yang justru akan memasukkannya ke dalam an naar (neraka)?
Buah Dari Berdzikir
Dzikrullah memiliki keutamaan yang sangat banyak sekali. Bahkan Al Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Ighatsatul lahfan menyatakan bahwa keutamaan dari dzikirullah bisa mencapai seratus lebih. Diantara keutamaan berdzikir, sebagai berikut:
1. Menenangkan jiwa dan menguatkan hati.
2. Meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.
3. Mengusir syaithan dan mengenyahkannya.
4. Mendapatkan ampunan dan balasan yang besar dari Allah .
Allah berfirman (artinya):
…”Dan laki-laki maupun para wanita yang banyak berdzikir kepada Allah, sungguh Allah sediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab :35)
Rasulullah bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ اَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ، قَالُوا: بَلى يَارَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
“Maukah kalian bila aku kabarkan tentang sebaik-baiknya amalan dan yang paling suci di sisi Penguasa Kalian (Allah ), yang paling meninggikan derajat kalian, lebih baik daripada infaq emas maupun perak, bahkan lebih baik bagi kalian daripada bertemu musuh kemudian kalian menebas leher-leher mereka atau mereka yang menebas leher-leher kalian? Para sahabat seraya menjawab: “Tentu, Wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: “Dzikrullah ،.”(H.R. At Tirmidzi no. 3377, lihat Shahih At Tirmidzi 3/139 dari sahabat Abu Dzar )
“Barangsiapa mengucapkan:
لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
seratus kali dalam sehari, maka dia mendapat pahala seperti pahala membebaskan sepuluh budak, ditetapkan baginya seratus kebaikan, dihapuskan seratus keburukan, perlindungan dari gangguan setan pada hari itu hingga petang hari, dan tidak ada seseorang yang membawa sesuatu yang lebih utama daripada yang dibawa orang itu, kecuali orang yang melakukannya lebih banyak lagi. Barangsiapa yang mengucapkan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ seratus kali dalam sehari, maka akan dihapuskan dosa-dosanya sekalipun dosa-dosa itu sebanyak buih di lautan.” (H.R. Muslim no. 2691, dari sahabat Abu Hurairah )
Dan masih banyak lagi keutamaan dzikir-dzikir lainnya yang dituntunkan di dalam hadits-hadits yang shahih.
5. Senantiasa diingat oleh Allah .
Allah berfirman (artinya):
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian.” (Al Baqarah :152)
Peringatan dari Lalai Berdzikir kepada Allah
Setelah kita mengetahui betapa besar urgensinya dzikrullah bagi seorang hamba dan bahkan merupakan perintah dari Allah , maka melalaikan dzikrullah merupakan perkara yang dilarang pula oleh-Nya. Bahkan Allah memberitakan tentang kerugian besar bagi orang yang melalaikan dzikir dan tersibukkan dengan selainnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan sampai harta dan anak-anakmu melalaikan kalian dari berdzikir kepada Allah, dan siapa yang melakukan hal itu, maka mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Al Munafiqun :9)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Rabbi, mengapa Engkau menghimpunku dalam kedaan buta padahal aku dahulunya dapat melihat. Allah berfirman: “Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula hari ini kamupun dilupakan.” (Thaaha: 124-126)
Rasulullah bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةً وَمَنِ اضْطَجَعَ مُضْطَجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةً
“Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah, maka hal itu menjadi pengurang dan kerugian dari Allah terhadapnya. Dan barangsiapa yang berbaring di atas pembaringan dalam kea daan tidak berdzikir kepada-Nya, maka hal itu menjadi pengurang dan kerugian dari Allah terhadapnya. (H.R. Abu Dawud no. 4856, lihat Shahihul Jami’ 5/342 dari sahabat Abu Hurairah )
Akhir kata, mudah-mudahan tulisan yang singkat ini dapat menumbuhkan dan memperkokoh dzikir kita kepada Allah dan mendorong kita untuk terus mempelajari dzikir-dzikir yang terdapat dalam hadits-hadits Rasulullah yang shahih.
“Bukankah dengan berdzikir kepada Allah menjadikan hati itu tuma’ninah?.” (Ar Ra’ad: 28)
Bersama kajian kita kali ini, akan dipaparkan tentang urgensi (pentingnya) dzikrullah (berdzikir kepada Allah ) berdasarkan Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Kebutuhan Dzikrullah
Kebutuhan seorang hamba kepada dzikrullah bagaikan tubuhnya yang selalu butuh kepada makan dan minum. Bila ia lupa dari dzikrullah, maka pada hakekatnya ia dalam keadaan mati. Hatinya mati untuk mengagungkan kebesaran penciptanya dan mensucikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Penglihatan dan pendengarannya tiada berfungsi (mati) untuk mengagungkan ayat-ayat kauniyah (kesempurnaan penciptaan alam semesta) dan memperhatikan ayat-ayat syar’iyah (kesempurnaan hukum-hukum Allah ). Dia berjalan dalam keadaan gelap gulita yang tiada dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Tenggelam dalam kekufuran, kezhaliman, kemaksiatan dan kebodohan, yang ia sadari maupun tanpa ia sadari. Sehingga pada hakekatnya ia adalah mati disebabkan lalai dari dzikir kepada Allah, seperti halnya ikan akan mati disebabkan kekeringan. Demikianlah yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (artinya):
“Dan apakah orang yang sudah mati (sebelum mendapat hidayah dan taufiq dari Allah -pent) kemudian Kami hidupkan, lalu Kami berikan kepadanya cahaya yang terang (cahaya ilmu dan iman -pent), maka dengan cahaya tersebut ia bisa berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita (tenggelam dalam kekufuran, kezhaliman dan kemaksiatan) yang sekali-kali ia tidak dapat ke luar darinya? (Al An’am: 122)
Demikian pula Rasulullah juga menegaskan di dalam sabdanya:
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَ الَّذِي لاَيَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَ الْمَيِّتِ
“Permisalan orang yang berdzikir kepada Rabb-NYa dan orang yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.” (H.R. Al Bukhari: 6407, dari Abu Musa Al Asy’ari)
Bahkan Rasulullah menegaskan pula, bahwa rumah yang kosong dari dzikrullah ibarat rumah yang dihuni oleh orang mati. Sebagaimana beliau bersabda:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لاَيُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Permisalan rumah yang digunakan berdzikir pada Allah di dalamnya dan rumah yang tidak digunakan berdzikir pada Allah di dalamnya, seperti orang hidup dan orang yang mati.” ( HR Muslim: 779, dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri )
Kewajiban Dzikrullah
Para pembaca, demikianlah kebutuhan seorang hamba terhadap dzikrullah, atas dasar itulah Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk senantiasa berdzikir kepada-Nya. Di dalam Al Qur’anul Karim sangatlah banyak ayat-ayat yang menunjukkan perintah dzikrullah. Diantaranya perintah dzikrullah secara mutlaq, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kedaannya, maka ia hendaknya selalu berdzikir kepada Allah . Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan sore hari. Dia-lah yang memberi rahmat kepada kalian dan malaikat-Nya (memohonkan ampun untuk kalian) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). ” ( Al Ahzab :41)
Di dalam ayat-ayat Al Qur’an yang lain Allah juga memerintahkan dzikrullah tetapi dikaitkan dengan ibadah-ibadah besar yang lainnya. Maka perhatikanlah ayat-ayat Allah berikut ini:
1. Perintah dzikrullah setelah menunaikan shalat.
Allah berfirman (artinya):
“Jika kalian telah menunaikan shalat maka berdzikirlah kepada Allah sambil berdiri, duduk atau sambil berbaring di atas sisi kalian.” ( An Nisa’ :103)
2. Perintah dzikrullah setelah menunaikan shaum (puasa).
Allah berfirman (artinya):
“Dan sempurnakanlah hitungan puasamu dan bertakbirlah kepada Allah atas hidayah yang Allah berikan kepadamu agar kalian semua bersyukur.” (Al Baqarah :185)
3. Perintah dzikrullah setelah menunaikan haji.
Allah berfirman (artinya):
“Jika kalian telah selesai menunaikan manasik haji kalian maka berdzikirlah kepada Allah, sebagaimana kalian mengingat (membangga-banggakan kebesaran) moyang-moyang kalian atau bahkan berdzikirlah lebih dari itu kepada Allah.” (Al Baqarah :200)
4. Perintah dzikrullah disaat berjihad fii sabilillah.
Allah berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian bertemu kelompok musuh, kokohkanlah diri-diri kalian dan perbanyaklah berdzikir mengingat Allah, agar kalian beruntung.” (Al Anfal: 45)
5. Perintah dzikrullah di dalam segala aktivitas untuk mencari karunia Allah .
Allah berfirman (artinya):
“Jika shalat jum’at telah ditunaikan, maka menyebarlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan perbanyaklah berdzikir kepada Allah agar kalian mendapatkan keberuntungan.” (Al Jumu’ah :10)
Sehingga ibadah dzikrullah merupakan ibadah terbesar. Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dan sungguh berdzikir kepada Allah adalah yang terbesar.” (Al Ankabut :45)
Ayat diatas menerangkan bahwa dzikrullah merupakan ibadah terbesar. Walaupun demikian, hal ini tidaklah bertentangan dengan dalil-dalil yang menerangkan bahwa ibadah shalat, shaum, haji merupakan ibadah yang amat besar pula, bahkan jihad sebagai puncak tertinggi amalan di dalam Islam. Karena tujuan ibadah itu pada hakekatnya untuk berdzikir kepada Allah . Dan ruh amalan-amalan ibadah itu adalah dzikrullah. Sehingga suatu ibadah yang diiringi dengan dzikrullah itu lebih besar daripada ibadah yang kosong dari dzikrullah. Oleh karena itu Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat dalam rangka untuk mengingat-Ku.” (Thaaha :14)
Hakekat Dzikrullah
Hakekat dzikrullah akan membuahkan bagi hamba kesiapan untuk tunduk dan pasrah dalam menerima (melaksanakan) syari’at-syari’at-Nya serta selalu berupaya untuk mencari al haq (kebenaran). Bila ada seseorang yang lisannya senantiasa basah dengan dzikrullah tetapi perbuatannya malah banyak melanggar syari’at Allah dan enggan untuk mencari kebenaran, maka sesungguhnya ia masih belum memahami arti dzikrullah dengan sebenar-benarnya. Padahal Allah berfirman (artinya):
“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu pada dirimu dengan penuh harap akan surga-Nya dan penuh rasa cemas akan siksa-Nya.” (Al A’raf : 205)
Di dalam ayat di atas Allah memerintahakan berdzikir dengan disertai raja’ (penuh harap) akan surga-Nya dan khauf (penuh rasa cemas) akan siksa-Nya. Bagaimana ia berharap akan masuk al jannah (surga), sementara ia masih melalaikan/meninggalkan amalan-amalan yang diwajbkan kepadanya? Dan bagaimana pula ia takut dari siksa-Nya yang amat pedih, sementara ia masih melakukan perbuatan-perbuatan keji yang justru akan memasukkannya ke dalam an naar (neraka)?
Buah Dari Berdzikir
Dzikrullah memiliki keutamaan yang sangat banyak sekali. Bahkan Al Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Ighatsatul lahfan menyatakan bahwa keutamaan dari dzikirullah bisa mencapai seratus lebih. Diantara keutamaan berdzikir, sebagai berikut:
1. Menenangkan jiwa dan menguatkan hati.
2. Meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.
3. Mengusir syaithan dan mengenyahkannya.
4. Mendapatkan ampunan dan balasan yang besar dari Allah .
Allah berfirman (artinya):
…”Dan laki-laki maupun para wanita yang banyak berdzikir kepada Allah, sungguh Allah sediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab :35)
Rasulullah bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ اَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ، قَالُوا: بَلى يَارَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
“Maukah kalian bila aku kabarkan tentang sebaik-baiknya amalan dan yang paling suci di sisi Penguasa Kalian (Allah ), yang paling meninggikan derajat kalian, lebih baik daripada infaq emas maupun perak, bahkan lebih baik bagi kalian daripada bertemu musuh kemudian kalian menebas leher-leher mereka atau mereka yang menebas leher-leher kalian? Para sahabat seraya menjawab: “Tentu, Wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: “Dzikrullah ،.”(H.R. At Tirmidzi no. 3377, lihat Shahih At Tirmidzi 3/139 dari sahabat Abu Dzar )
“Barangsiapa mengucapkan:
لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
seratus kali dalam sehari, maka dia mendapat pahala seperti pahala membebaskan sepuluh budak, ditetapkan baginya seratus kebaikan, dihapuskan seratus keburukan, perlindungan dari gangguan setan pada hari itu hingga petang hari, dan tidak ada seseorang yang membawa sesuatu yang lebih utama daripada yang dibawa orang itu, kecuali orang yang melakukannya lebih banyak lagi. Barangsiapa yang mengucapkan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ seratus kali dalam sehari, maka akan dihapuskan dosa-dosanya sekalipun dosa-dosa itu sebanyak buih di lautan.” (H.R. Muslim no. 2691, dari sahabat Abu Hurairah )
Dan masih banyak lagi keutamaan dzikir-dzikir lainnya yang dituntunkan di dalam hadits-hadits yang shahih.
5. Senantiasa diingat oleh Allah .
Allah berfirman (artinya):
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian.” (Al Baqarah :152)
Peringatan dari Lalai Berdzikir kepada Allah
Setelah kita mengetahui betapa besar urgensinya dzikrullah bagi seorang hamba dan bahkan merupakan perintah dari Allah , maka melalaikan dzikrullah merupakan perkara yang dilarang pula oleh-Nya. Bahkan Allah memberitakan tentang kerugian besar bagi orang yang melalaikan dzikir dan tersibukkan dengan selainnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan sampai harta dan anak-anakmu melalaikan kalian dari berdzikir kepada Allah, dan siapa yang melakukan hal itu, maka mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Al Munafiqun :9)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Rabbi, mengapa Engkau menghimpunku dalam kedaan buta padahal aku dahulunya dapat melihat. Allah berfirman: “Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula hari ini kamupun dilupakan.” (Thaaha: 124-126)
Rasulullah bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةً وَمَنِ اضْطَجَعَ مُضْطَجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةً
“Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah, maka hal itu menjadi pengurang dan kerugian dari Allah terhadapnya. Dan barangsiapa yang berbaring di atas pembaringan dalam kea daan tidak berdzikir kepada-Nya, maka hal itu menjadi pengurang dan kerugian dari Allah terhadapnya. (H.R. Abu Dawud no. 4856, lihat Shahihul Jami’ 5/342 dari sahabat Abu Hurairah )
Akhir kata, mudah-mudahan tulisan yang singkat ini dapat menumbuhkan dan memperkokoh dzikir kita kepada Allah dan mendorong kita untuk terus mempelajari dzikir-dzikir yang terdapat dalam hadits-hadits Rasulullah yang shahih.
Asmaul Husna
Asmaul Husna secara harfiyah artinya “nama-nama yang baik”. Asmaul Husna adalah istilah yang merujuk kepada nama-nama, gelar, sebutan, sekaligus sifat-sifat Allah SWT yang indah lagi baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai asmaa’ul husna (nama-nama yang baik)” (Q.S. Thaa-Haa:8).
“Katakanlah (olehmu Muhammad): Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaa’ul husna (nama-nama yang terbaik)…” (Q.S Al-Israa’: 110)
Jumlah Asmaul Husna yakni 99 sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, diperkuat dengan hadits riwayat Bukhari.
Umat Islam dianjurkan berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu. “Allah memiliki Asmaul Husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu…” (QS. Al-A’raaf : 180).
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt mempunyai 99 nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal seluruhnya) masuklah ia kedalam surga” (HR. Bukhari).
Ke-99 Asmaul Husna tersebut adalah sebagai berikut:
No. | Nama | Arab | Indonesia |
---|---|---|---|
Allah | الله | Allah | |
1 | Ar Rahman | الرحمن | Yang Maha Pengasih |
2 | Ar Rahiim | الرحيم | Yang Maha Penyayang |
3 | Al Malik | الملك | Yang Maha Merajai/Memerintah |
4 | Al Quddus | القدوس | Yang Maha Suci |
5 | As Salaam | السلام | Yang Maha Memberi Kesejahteraan |
6 | Al Mu`min | المؤمن | Yang Maha Memberi Keamanan |
7 | Al Muhaimin | المهيمن | Yang Maha Pemelihara |
8 | Al `Aziiz | العزيز | Yang Maha Perkasa |
9 | Al Jabbar | الجبار | Yang Memiliki Mutlak Kegagahan |
10 | Al Mutakabbir | المتكبر | Yang Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran |
11 | Al Khaliq | الخالق | Yang Maha Pencipta |
12 | Al Baari` | البارئ | Yang Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan) |
13 | Al Mushawwir | المصور | Yang Maha Membentuk Rupa (makhluk-Nya) |
14 | Al Ghaffaar | الغفار | Yang Maha Pengampun |
15 | Al Qahhaar | القهار | Yang Maha Memaksa |
16 | Al Wahhaab | الوهاب | Yang Maha Pemberi Karunia |
17 | Ar Razzaaq | الرزاق | Yang Maha Pemberi Rezeki |
18 | Al Fattaah | الفتاح | Yang Maha Pembuka Rahmat |
19 | Al `Aliim | العليم | Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu) |
20 | Al Qaabidh | القابض | Yang Maha Menyempitkan (makhluk-Nya) |
21 | Al Baasith | الباسط | Yang Maha Melapangkan (makhluk-Nya) |
22 | Al Khaafidh | الخافض | Yang Maha Merendahkan (makhluk-Nya) |
23 | Ar Raafi` | الرافع | Yang Maha Meninggikan (makhluk-Nya) |
24 | Al Mu`izz | المعز | Yang Maha Memuliakan (makhluk-Nya) |
25 | Al Mudzil | المذل | Yang Maha Menghinakan (makhluk-Nya) |
26 | Al Samii` | السميع | Yang Maha Mendengar |
27 | Al Bashiir | البصير | Yang Maha Melihat |
28 | Al Hakam | الحكم | Yang Maha Menetapkan |
29 | Al `Adl | العدل | Yang Maha Adil |
30 | Al Lathiif | اللطيف | Yang Maha Lembut |
31 | Al Khabiir | الخبير | Yang Maha Mengenal |
32 | Al Haliim | الحليم | Yang Maha Penyantun |
33 | Al `Azhiim | العظيم | Yang Maha Agung |
34 | Al Ghafuur | الغفور | Yang Maha Pengampun |
35 | As Syakuur | الشكور | Yang Maha Pembalas Budi (Menghargai) |
36 | Al `Aliy | العلى | Yang Maha Tinggi |
37 | Al Kabiir | الكبير | Yang Maha Besar |
38 | Al Hafizh | الحفيظ | Yang Maha Memelihara |
39 | Al Muqiit | المقيت | Yang Maha Pemberi Kecukupan |
40 | Al Hasiib | الحسيب | Yang Maha Membuat Perhitungan |
41 | Al Jaliil | الجليل | Yang Maha Mulia |
42 | Al Kariim | الكريم | Yang Maha Mulia |
43 | Ar Raqiib | الرقيب | Yang Maha Mengawasi |
44 | Al Mujiib | المجيب | Yang Maha Mengabulkan |
45 | Al Waasi` | الواسع | Yang Maha Luas |
46 | Al Hakiim | الحكيم | Yang Maha Maka Bijaksana |
47 | Al Waduud | الودود | Yang Maha Mengasihi |
48 | Al Majiid | المجيد | Yang Maha Mulia |
49 | Al Baa`its | الباعث | Yang Maha Membangkitkan |
50 | As Syahiid | الشهيد | Yang Maha Menyaksikan |
51 | Al Haqq | الحق | Yang Maha Benar |
52 | Al Wakiil | الوكيل | Yang Maha Memelihara |
53 | Al Qawiyyu | القوى | Yang Maha Kuat |
54 | Al Matiin | المتين | Yang Maha Kokoh |
55 | Al Waliyy | الولى | Yang Maha Melindungi |
56 | Al Hamiid | الحميد | Yang Maha Terpuji |
57 | Al Muhshii | المحصى | Yang Maha Mengkalkulasi |
58 | Al Mubdi` | المبدئ | Yang Maha Memulai |
59 | Al Mu`iid | المعيد | Yang Maha Mengembalikan Kehidupan |
60 | Al Muhyii | المحيى | Yang Maha Menghidupkan |
61 | Al Mumiitu | المميت | Yang Maha Mematikan |
62 | Al Hayyu | الحي | Yang Maha Hidup |
63 | Al Qayyuum | القيوم | Yang Maha Mandiri |
64 | Al Waajid | الواجد | Yang Maha Penemu |
65 | Al Maajid | الماجد | Yang Maha Mulia |
66 | Al Wahiid | الواحد | Yang Maha Tunggal |
67 | Al Ahad | الاحد | Yang Maha Esa |
68 | As Shamad | الصمد | Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta |
69 | Al Qaadir | القادر | Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan |
70 | Al Muqtadir | المقتدر | Yang Maha Berkuasa |
71 | Al Muqaddim | المقدم | Yang Maha Mendahulukan |
72 | Al Mu`akkhir | المؤخر | Yang Maha Mengakhirkan |
73 | Al Awwal | الأول | Yang Maha Awal |
74 | Al Aakhir | الأخر | Yang Maha Akhir |
75 | Az Zhaahir | الظاهر | Yang Maha Nyata |
76 | Al Baathin | الباطن | Yang Maha Ghaib |
77 | Al Waali | الوالي | Yang Maha Memerintah |
78 | Al Muta`aalii | المتعالي | Yang Maha Tinggi |
79 | Al Barri | البر | Yang Maha Penderma |
80 | At Tawwaab | التواب | Yang Maha Penerima Tobat |
81 | Al Muntaqim | المنتقم | Yang Maha Pemberi Balasan |
82 | Al Afuww | العفو | Yang Maha Pemaaf |
83 | Ar Ra`uuf | الرؤوف | Yang Maha Pengasuh |
84 | Malikul Mulk | مالك الملك | Yang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta) |
85 | Dzul Jalaali Wal Ikraam | ذو الجلال و الإكرام | Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan |
86 | Al Muqsith | المقسط | Yang Maha Pemberi Keadilan |
87 | Al Jamii` | الجامع | Yang Maha Mengumpulkan |
88 | Al Ghaniyy | الغنى | Yang Maha Kaya |
89 | Al Mughnii | المغنى | Yang Maha Pemberi Kekayaan |
90 | Al Maani | المانع | Yang Maha Mencegah |
91 | Ad Dhaar | الضار | Yang Maha Penimpa Kemudharatan |
92 | An Nafii` | النافع | Yang Maha Memberi Manfaat |
93 | An Nuur | النور | Yang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya) |
94 | Al Haadii | الهادئ | Yang Maha Pemberi Petunjuk |
95 | Al Baadii | البديع | Yang Indah Tidak Mempunyai Banding |
96 | Al Baaqii | الباقي | Yang Maha Kekal |
97 | Al Waarits | الوارث | Yang Maha Pewaris |
98 | Ar Rasyiid | الرشيد | Yang Maha Pandai |
99 | As Shabuur | الصبور | Yang Maha Sabar |
Ahli Sorga Bersih Hati
DIRIWAYATKAN, dalam sebuah “pengajian” di masjid,
sarana Rasulullah Saw mengajarkan ayat-ayat Qur’an kepada para sahabat,
Rasul mengabarkan tentang hadirnya seorang calon penghuni surga di
tengah mereka. Orang tersebut tidak dikenal oleh para sahabat, bahkan
namanya sekalipun. Ia bukan tokoh, bukan public figure, namun tiba-tiba menjadi sangat istimewa dalam pandangan para sahabat karena Rasul menyebutnya sebagai calon penghuni sorga.
Para sahabat pun merasa penasaran, apa yang istimewa pada diri orang itu itu hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni sorga. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, bertekad memantau dari dekat orang itu, agar lebih jelas mengetahui apa keistimewaannya.
Abdullah lalu meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut selama tiga hari. Selama bertamu, Abdullah mengawasi amal tuan rumah, gerak-geriknya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia tidak tidur karena takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat disaksikan. Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw.
Sebelum pamit pulang, Abdullah pun bertanya langsung, gerangan apakah amalan istimewa tuan rumah sehingga ia menjadi calon penghuni sorga. Jawabnya, “Tidak ada, selain yang engkau telah lihat. Hanya saja aku belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam. Dan aku tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT”. Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan derajatmu“.
Dalam riwayat versi lain, orang itu menjawab: “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua dengki, dendam, dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian (calon penghuni sorga).”
Kisah populer itu setidaknya mengajarkan satu hal penting kepada kita: kebersihan hati merupakan kunci sorga. Dengan kata lain, amal istimewa sang calon penghuni sorga adalah menjaga kebersihan hati. Lalu, mengapa kebersihan hati?
DI antara semua anggota atau organ tubuh kita, hati mempunyai status dan fungsi teristimewa. Hati adalah motor, motivator, atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak heran kalau dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Saw menyatakan hati menjadi penentu baik-buruknya amal atau diri seseorang.
“Ingatlah, sesungguhnya dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh dirimu. Apablia segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh dirimu. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.”
Hati adalah tempat lahirnya niat atau hasrat untuk bertindak. Hati juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menyatakan “attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya.
Kita sering mendengar orang mengatakan, “yang penting hatinya baik”. Hal itu benar adanya. Karena, Allah SWT pun tidak menilai apa pun dari diri kita kecuali hati dan amalnya. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu.”
Dalam Al-Quran ditegaskan, salah satu ciri orang benar-benar beriman adalah bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah dan bertambah imannya ketika ayat-ayat-Nya dibacakan (QS. 8:2).
Dalam keseharian, kita sering mendengar orang berpesan atau memberi nasihat dengan ucapan: “Hati-hati!”. Ketika kita hendak pergi, kita dinasihati agar hati-hati; ketika hendak menulis, dipesankan agar hati-hati; ketika hendak bicara juga dipesankan agar hati-hati. Padahal, yang bekerja secara lahiriahnya adalah tangan, kaki, dan mulut. Itu menunjukkan, hati memang pokok atau pangkal segala amal. Hatilah yang menggerakan dan mengendalikan tangan, kaki, dan mulut kita.
Hati adalah tempat atau pusat segala perasaan (emosi). Rasa sedih, senang, marah, benci, dendam, dengki, cinta, dan sebagainya ada dalam hati. Kondisi hati berpengaruh kuat pada kondisi badan atau anggota tubuh lain. Orang yang sedang “tidak enak hati” akan nampak pucat wajahnya, lesu, tidak bergairah.
Kita harus berupaya agar jangan sampai hati kita sakit atau mengandung penyakit, sehingga hati kita tetap bersih sekaligus membersihkan amal. Di antara penyakit hati itu adalah takabur (sombong), riya (pamrih, tidak ikhlas), bakhil (kikir, pelit), hasad (iri, dengki), serta wahn (cinta dunia dan takut mati) yang membuat kita menghindari atau lari dari kewajiban jihad fi sabilillah, dan lain-lain.
Imam al-Ghazali mengatakan, penyakit hati yang berupa sifat-sifat buruk dapat diobati dengan cara mengambil sesuatu yang merupakan perlawanannya. “Penyakit bodoh dapat dilenyapkan dengan belajar yang tekun, penyakit kikir dengan bersikap dermawan, penyakit sombong dengan jalan merendahkan hati, penyakit rakus dengan menahan nafsu dari apa-apa yang diinginkannya dengan cara memaksa, demikian seterusnya,” demikian resep Al-Ghazali. Wallahu a’lam
Para sahabat pun merasa penasaran, apa yang istimewa pada diri orang itu itu hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni sorga. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, bertekad memantau dari dekat orang itu, agar lebih jelas mengetahui apa keistimewaannya.
Abdullah lalu meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut selama tiga hari. Selama bertamu, Abdullah mengawasi amal tuan rumah, gerak-geriknya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia tidak tidur karena takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat disaksikan. Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw.
Sebelum pamit pulang, Abdullah pun bertanya langsung, gerangan apakah amalan istimewa tuan rumah sehingga ia menjadi calon penghuni sorga. Jawabnya, “Tidak ada, selain yang engkau telah lihat. Hanya saja aku belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam. Dan aku tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT”. Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan derajatmu“.
Dalam riwayat versi lain, orang itu menjawab: “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua dengki, dendam, dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian (calon penghuni sorga).”
Kisah populer itu setidaknya mengajarkan satu hal penting kepada kita: kebersihan hati merupakan kunci sorga. Dengan kata lain, amal istimewa sang calon penghuni sorga adalah menjaga kebersihan hati. Lalu, mengapa kebersihan hati?
DI antara semua anggota atau organ tubuh kita, hati mempunyai status dan fungsi teristimewa. Hati adalah motor, motivator, atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak heran kalau dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Saw menyatakan hati menjadi penentu baik-buruknya amal atau diri seseorang.
“Ingatlah, sesungguhnya dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh dirimu. Apablia segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh dirimu. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.”
Hati adalah tempat lahirnya niat atau hasrat untuk bertindak. Hati juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menyatakan “attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya.
Kita sering mendengar orang mengatakan, “yang penting hatinya baik”. Hal itu benar adanya. Karena, Allah SWT pun tidak menilai apa pun dari diri kita kecuali hati dan amalnya. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu.”
Dalam Al-Quran ditegaskan, salah satu ciri orang benar-benar beriman adalah bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah dan bertambah imannya ketika ayat-ayat-Nya dibacakan (QS. 8:2).
Dalam keseharian, kita sering mendengar orang berpesan atau memberi nasihat dengan ucapan: “Hati-hati!”. Ketika kita hendak pergi, kita dinasihati agar hati-hati; ketika hendak menulis, dipesankan agar hati-hati; ketika hendak bicara juga dipesankan agar hati-hati. Padahal, yang bekerja secara lahiriahnya adalah tangan, kaki, dan mulut. Itu menunjukkan, hati memang pokok atau pangkal segala amal. Hatilah yang menggerakan dan mengendalikan tangan, kaki, dan mulut kita.
Hati adalah tempat atau pusat segala perasaan (emosi). Rasa sedih, senang, marah, benci, dendam, dengki, cinta, dan sebagainya ada dalam hati. Kondisi hati berpengaruh kuat pada kondisi badan atau anggota tubuh lain. Orang yang sedang “tidak enak hati” akan nampak pucat wajahnya, lesu, tidak bergairah.
Kita harus berupaya agar jangan sampai hati kita sakit atau mengandung penyakit, sehingga hati kita tetap bersih sekaligus membersihkan amal. Di antara penyakit hati itu adalah takabur (sombong), riya (pamrih, tidak ikhlas), bakhil (kikir, pelit), hasad (iri, dengki), serta wahn (cinta dunia dan takut mati) yang membuat kita menghindari atau lari dari kewajiban jihad fi sabilillah, dan lain-lain.
Imam al-Ghazali mengatakan, penyakit hati yang berupa sifat-sifat buruk dapat diobati dengan cara mengambil sesuatu yang merupakan perlawanannya. “Penyakit bodoh dapat dilenyapkan dengan belajar yang tekun, penyakit kikir dengan bersikap dermawan, penyakit sombong dengan jalan merendahkan hati, penyakit rakus dengan menahan nafsu dari apa-apa yang diinginkannya dengan cara memaksa, demikian seterusnya,” demikian resep Al-Ghazali. Wallahu a’lam
Makanan Halal Melembutkan Hati
ISLAM memerintahkan umatnya mencari rezeki halal
atau memakan makanan yang halal. Para koruptor, “makelar kasus”, dan
penerima suap di kalangan “oknum” pejabat, jelas melanggar hukum Allah
SWT dan harus menerima akibatnya: hidup tidak berkah, dikutuk Allah dan
rakyat, anak-istri ikut menderita karena dinafkahi rezeki haram, dan
sebagainya.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. Al-Maidah: 88).
Nabi Saw menegaskan, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, ‘Barangsiapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan fardhunya’.”
Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar –seperti dikutip Imam Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin– memperkuatnya:
“Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’ (berhati-hati atas makanan haram).”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengisahkan seorang pengembara yang menengadahkan tangannya ke langit, berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Terucap dari mulutnya: “Ya Rabbi, Ya Rabbi!” Namun, menurut Rasul, doa pengembara tersebut tidak dikabulkan. Mengapa? “Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya, sedang makanan, minuman, dan pakaiannya haram?” jelas Rasul (HR. Muslim).
Kisah pengembara itu secara jelas mengabarkan, doa orang yang suka memakan makanan haram atau meminum minuman dan memakai pakaian yang haram, tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda, setiap tubuh yang dibesarkan dengan cara yang haram, maka neraka lebih layak baginya. “Makanan haram termasuk kotoran, bukan makanan yang baik,” tulis Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin.
Haram dikategorikan ke dalam dua macam: haram lizatihi dan haram li’ardihi. Yang pertama adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula, karena secara tegas mengandung mafsadat (kerusakan), seperti berzina, mencuri, meminum khamar, memakan daging babi, riba, dan memakan harta anak yatim (QS. Al-An’am:151, Al-Maidah:90 dan 96, Al-Baqarah:228, Al-Isra:32, An-Nisa:10).
Haram jenis kedua adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, lalu ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari luar. Misalnya, shalat dengan pakaian hasil tipuan atau bersedekah dengan harta hasil mencuri.
Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba (halal lagi baik). Yang harus mendapat perhatian serius adalah “cara” mendapatkan barang halal tersebut. Pasalnya, barang haram –seperti daging babi– umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang “cara”, banyak umat yang mungkin tidak memedulikan halal-haramnya. Padahal, barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian, penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram dikonsumsi.
Di akhirat nanti, ihwal menyangkut harta kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya dari berbagai arah: dari mana didapatkan, bagaimana mendapatkannya, dan digunakan untuk apa? Jika harta didapat dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas penggunaan. Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta tersebut.
Lembutkan Hati
Makanan haram akan mengeraskan hati. Mereka yang mengkonsumsi makanan haram atau dari rezeki yang tidak halal (seperti hasil korupsi dan suap), hatinya akan sulit menerima kebenaran, bahkan hidayah. Hatinya akan keras sekeras batu dan baja, sehingga cahaya kebenaran sulit masuk ke dalam jiwa mereka.
Sebaliknya, makanan halal dapat melembutkan hati kita. Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya seseorang. “Apa yang bisa melembutkan hati, Wahai Abu Abdillah?” Sejenak Imam Hambal merenung, lalu menjawab, “Makanan halal”.
Hati yang lembut akan memudahkan penerimaannya atas kebenaran Ilahi. Sebaliknya, hati yang keras akan sangat sulit menerima kebenaran Ilahi dan sebaliknya justru mudah menerima kemaksiatan dan kemunkaran.
Jadi, makanan haram bukan saja mengeraskan hati, tetapi juga membuat seseorang terhalang kemakbulan doanya kepada Allah SWT. Meski dalam sebuah firman-Nya, Allah menyatakan akan mengabulkan setiap doa hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, makanan halal akan melembutkan hati sekaligus menjadikan doa kita makbul, dipenuhi oleh-Nya.
Akibat mencari rezeki yang tidak halal, bahkan sudah terlihat di dunia. Lihat saja, betapa menderita dan terhina para koruptor, makelar kasus, penerima suap, perampok uang rakyat, yang belakangan kerap muncul di media massa. Betapa terhinanya mereka, juga istri, anak, dan kerabat mereka. Itulah hukuman Allah SWT di dunia.
Kita harus berhati-hati dalam mendapatkan harta atau makanan, agar darah-daging kita, juga keluarga kita atau mereka yang kebutuhan hidupnya berada di bawah tanggung jawab kita, terhindar dari barang haram.
Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita dunia-akhirat. Yakinlah, rezeki sudah diatur oleh Allah dan kita tinggal berikhtiar secara baik-baik. Rezeki tidak akan jatuh ke tangan siapa pun jika Allah sudah menakdirkannya untuk kita. Allah SWT pun menjamin, setiap makhluk bernyawa, dibarengi dengan “jatah” rezeki masing-masing. Tugas kita adalah ikhtiar, tawakal, dan doa.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. Al-Maidah: 88).
Nabi Saw menegaskan, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, ‘Barangsiapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan fardhunya’.”
Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar –seperti dikutip Imam Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin– memperkuatnya:
“Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’ (berhati-hati atas makanan haram).”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengisahkan seorang pengembara yang menengadahkan tangannya ke langit, berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Terucap dari mulutnya: “Ya Rabbi, Ya Rabbi!” Namun, menurut Rasul, doa pengembara tersebut tidak dikabulkan. Mengapa? “Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya, sedang makanan, minuman, dan pakaiannya haram?” jelas Rasul (HR. Muslim).
Kisah pengembara itu secara jelas mengabarkan, doa orang yang suka memakan makanan haram atau meminum minuman dan memakai pakaian yang haram, tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda, setiap tubuh yang dibesarkan dengan cara yang haram, maka neraka lebih layak baginya. “Makanan haram termasuk kotoran, bukan makanan yang baik,” tulis Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin.
Haram dikategorikan ke dalam dua macam: haram lizatihi dan haram li’ardihi. Yang pertama adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula, karena secara tegas mengandung mafsadat (kerusakan), seperti berzina, mencuri, meminum khamar, memakan daging babi, riba, dan memakan harta anak yatim (QS. Al-An’am:151, Al-Maidah:90 dan 96, Al-Baqarah:228, Al-Isra:32, An-Nisa:10).
Haram jenis kedua adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, lalu ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari luar. Misalnya, shalat dengan pakaian hasil tipuan atau bersedekah dengan harta hasil mencuri.
Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba (halal lagi baik). Yang harus mendapat perhatian serius adalah “cara” mendapatkan barang halal tersebut. Pasalnya, barang haram –seperti daging babi– umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang “cara”, banyak umat yang mungkin tidak memedulikan halal-haramnya. Padahal, barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian, penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram dikonsumsi.
Di akhirat nanti, ihwal menyangkut harta kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya dari berbagai arah: dari mana didapatkan, bagaimana mendapatkannya, dan digunakan untuk apa? Jika harta didapat dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas penggunaan. Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta tersebut.
Lembutkan Hati
Makanan haram akan mengeraskan hati. Mereka yang mengkonsumsi makanan haram atau dari rezeki yang tidak halal (seperti hasil korupsi dan suap), hatinya akan sulit menerima kebenaran, bahkan hidayah. Hatinya akan keras sekeras batu dan baja, sehingga cahaya kebenaran sulit masuk ke dalam jiwa mereka.
Sebaliknya, makanan halal dapat melembutkan hati kita. Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya seseorang. “Apa yang bisa melembutkan hati, Wahai Abu Abdillah?” Sejenak Imam Hambal merenung, lalu menjawab, “Makanan halal”.
Hati yang lembut akan memudahkan penerimaannya atas kebenaran Ilahi. Sebaliknya, hati yang keras akan sangat sulit menerima kebenaran Ilahi dan sebaliknya justru mudah menerima kemaksiatan dan kemunkaran.
Jadi, makanan haram bukan saja mengeraskan hati, tetapi juga membuat seseorang terhalang kemakbulan doanya kepada Allah SWT. Meski dalam sebuah firman-Nya, Allah menyatakan akan mengabulkan setiap doa hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, makanan halal akan melembutkan hati sekaligus menjadikan doa kita makbul, dipenuhi oleh-Nya.
Akibat mencari rezeki yang tidak halal, bahkan sudah terlihat di dunia. Lihat saja, betapa menderita dan terhina para koruptor, makelar kasus, penerima suap, perampok uang rakyat, yang belakangan kerap muncul di media massa. Betapa terhinanya mereka, juga istri, anak, dan kerabat mereka. Itulah hukuman Allah SWT di dunia.
Kita harus berhati-hati dalam mendapatkan harta atau makanan, agar darah-daging kita, juga keluarga kita atau mereka yang kebutuhan hidupnya berada di bawah tanggung jawab kita, terhindar dari barang haram.
Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita dunia-akhirat. Yakinlah, rezeki sudah diatur oleh Allah dan kita tinggal berikhtiar secara baik-baik. Rezeki tidak akan jatuh ke tangan siapa pun jika Allah sudah menakdirkannya untuk kita. Allah SWT pun menjamin, setiap makhluk bernyawa, dibarengi dengan “jatah” rezeki masing-masing. Tugas kita adalah ikhtiar, tawakal, dan doa.
Langganan:
Postingan (Atom)