DIRIWAYATKAN, dalam sebuah “pengajian” di masjid,
sarana Rasulullah Saw mengajarkan ayat-ayat Qur’an kepada para sahabat,
Rasul mengabarkan tentang hadirnya seorang calon penghuni surga di
tengah mereka. Orang tersebut tidak dikenal oleh para sahabat, bahkan
namanya sekalipun. Ia bukan tokoh, bukan public figure, namun tiba-tiba menjadi sangat istimewa dalam pandangan para sahabat karena Rasul menyebutnya sebagai calon penghuni sorga.
Para sahabat pun merasa penasaran, apa yang istimewa pada diri orang
itu itu hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni sorga.
Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, bertekad memantau dari dekat
orang itu, agar lebih jelas mengetahui apa keistimewaannya.
Abdullah lalu meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut
selama tiga hari. Selama bertamu, Abdullah mengawasi amal tuan rumah,
gerak-geriknya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia
tidak tidur karena takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat
disaksikan. Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang
istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding
dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan
Rasulullah Saw.
Sebelum pamit pulang, Abdullah pun bertanya langsung, gerangan apakah
amalan istimewa tuan rumah sehingga ia menjadi calon penghuni sorga.
Jawabnya, “Tidak ada, selain yang engkau telah lihat. Hanya saja aku
belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat
Islam. Dan aku tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang
dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT”. Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan derajatmu“.
Dalam riwayat versi lain, orang itu menjawab: “Wahai sahabat,
seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang
muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang
bisa kuberitahukan padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha
membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan kubuang
semua dengki, dendam, dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama
muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas.
Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian (calon
penghuni sorga).”
Kisah populer itu setidaknya mengajarkan satu hal
penting kepada kita: kebersihan hati merupakan kunci sorga. Dengan kata
lain, amal istimewa sang calon penghuni sorga adalah menjaga kebersihan
hati. Lalu, mengapa kebersihan hati?
DI antara semua anggota atau organ tubuh kita, hati
mempunyai status dan fungsi teristimewa. Hati adalah motor, motivator,
atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Tidak heran kalau dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Saw
menyatakan hati menjadi penentu baik-buruknya amal atau diri seseorang.
“Ingatlah, sesungguhnya dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila
segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh dirimu. Apablia
segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh dirimu. Ingatlah,
segumpal daging itu adalah hati.”
Hati adalah tempat lahirnya niat atau hasrat untuk bertindak. Hati
juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah
menyatakan “attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya.
Kita sering mendengar orang mengatakan, “yang penting hatinya baik”.
Hal itu benar adanya. Karena, Allah SWT pun tidak menilai apa pun dari
diri kita kecuali hati dan amalnya. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu.”
Dalam Al-Quran ditegaskan, salah satu ciri orang benar-benar beriman
adalah bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah dan bertambah
imannya ketika ayat-ayat-Nya dibacakan (QS. 8:2).
Dalam keseharian, kita sering mendengar orang berpesan atau memberi
nasihat dengan ucapan: “Hati-hati!”. Ketika kita hendak pergi, kita
dinasihati agar hati-hati; ketika hendak menulis, dipesankan agar
hati-hati; ketika hendak bicara juga dipesankan agar hati-hati. Padahal,
yang bekerja secara lahiriahnya adalah tangan, kaki, dan mulut. Itu
menunjukkan, hati memang pokok atau pangkal segala amal. Hatilah yang
menggerakan dan mengendalikan tangan, kaki, dan mulut kita.
Hati adalah tempat atau pusat segala perasaan (emosi). Rasa sedih,
senang, marah, benci, dendam, dengki, cinta, dan sebagainya ada dalam
hati. Kondisi hati berpengaruh kuat pada kondisi badan atau anggota
tubuh lain. Orang yang sedang “tidak enak hati” akan nampak pucat
wajahnya, lesu, tidak bergairah.
Kita harus berupaya agar jangan sampai hati kita sakit atau
mengandung penyakit, sehingga hati kita tetap bersih sekaligus
membersihkan amal. Di antara penyakit hati itu adalah takabur (sombong), riya (pamrih, tidak ikhlas), bakhil (kikir, pelit), hasad (iri, dengki), serta wahn (cinta dunia dan takut mati) yang membuat kita menghindari atau lari dari kewajiban jihad fi sabilillah, dan lain-lain.
Imam al-Ghazali mengatakan, penyakit hati yang berupa sifat-sifat
buruk dapat diobati dengan cara mengambil sesuatu yang merupakan
perlawanannya. “Penyakit bodoh dapat dilenyapkan dengan belajar yang
tekun, penyakit kikir dengan bersikap dermawan, penyakit sombong dengan
jalan merendahkan hati, penyakit rakus dengan menahan nafsu dari
apa-apa yang diinginkannya dengan cara memaksa, demikian seterusnya,” demikian resep Al-Ghazali. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar