Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Hanyalah untuk beribadah
kepadaNya menurut syariat atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran
Islam. Begitu pula dalam ibadah kepada Allah haruslah disesuaikah dengan
garis-garis yang telah ditetapkan syariat serta hanyalah diniatkan
semata-semata karena Allah dan mengharapkan ridhoNya untuk mencapai kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
Namun sayang sekali, kadang-kadang ada sebagian diantara
manusia itu ada yang menyimpang jauh
dari tujuan diciptakannya semula, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.
Selama hidupnya tidak dipergunakan ibadah, tapi hanyalah diisi dengan
perbuatan-perbuatan maksiat, selalu melanggar larangan-larangan Allah dan lebih
tragis lagi, ada yang mengkufuri atau mengingkari adanya Allah dan juga
menetang syariatNya secara terang-terangan.
Selain itu, masih ada lagi yang lebih tragis lagi nasibnya,
yaitu orang yang lahirnya sudah melaksanakan ibadah dan juga sudah meyakini
kebenaran ibadahnya, namun salah dalam pelaksanaannya. Ibadahnya melenceng dari
tujuan dan tidak sesuai dengan tuntunan Allah. Dalam hal ini adalah niat
ibadahnya tidak benar, yakni tidak
sesuai dengan tuntunan Allah. Niat ibadahnya tidak ditujukan semata-mata karena
Allah, namun ditujukan dan diniatkan kepada yang lainnya. Ibadahnya tidak
semata-mata ditujukan kepada Allah dan mengharapkan ridhoNya, tapi demi
mengharapkan pujian, sanjungan ataupun ingin dilihat oleh orang lain.
Dalam pandangan shufi, beribadah seperti itu tidak akan
berhasil guna, bahkan sia-sia saja. Sebab tidak dilakukan secara ikhlas karena
Allah. Ibadah seperti itu tidak akan diterima oleh Allah. Ibadah yang diterima
oleh Allah adalah ibadah yang dilakukan secara ikhlas dan benar. Ikhlas artinya
semata-mata ditujukan kepada Allah dan benar artinya dilakukan sesuai dengan
syariatNya.
Beribadah secara ikhlas menurut definisi para ulama shufi
adalah tidak ingin seseorang amalnya yang baik dilihat orang lain, apalagi
diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan kejahatan yang tidak ingin
diketahui masyarakat. Sebagian ulama shufi yang lain menekankan pada dasar
ikhlas yaitu tidak ingin dipuji oleh orang lain.
Bagi pandangan kaum shufi, ibadah dan ikhlas tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lainnya, selalu saling kait mengkait antara yang
satu dengan lainnya. Dalam hal ini, bila diibaratkan bagaikan tubuh, maka
ikhlas adalah rohnya. Ibadah yang tidak dilakukan dengan ikhlas bagaikan tubuh
tanpa roh alias bangkai. Jika bangkai itu dibiarkan lama kelamaan akan membawa
penyakit yang amat berbahaya. Hal ini disebabkan keberadaan ikhlas adalah
sebagai sumber motivasi ibadah
seseorang, sekaligus jantung dan nyawanya. Tanpa rasa ikhlas ibadah seseorang
tidak akan berlangsung lama. Tergantung musim dan lingkungannya. Jika
lingkungannya mendorong untuk beribadah, maka semangatnya timbul. Sebaliknya
bila sepi dari rangsangan atau dorongan tertentu, lemah dan malas. Lain halnya
dengan ibadah yang dilakukan dengan ikhlas, dia akan terus beribadah tanpa
menunggu dorongan atau rangsangan dari lingkungannya. Ada orang yang melihat atau tidak, dicela
atau dipuji, sendirian ataupun bersama banyak orang, tetap saja melakukan
ibadah sesuai dengan dorongan hati nuraninya yang semata-mata mengharapkan
pujian dan sanjungan dari Allah SWT.
Bila dalam diri kita masih terdapat perasaan, rangsangan dan
dorongan yang ditimbulkan dari lingkungan sekitarnya dalam melaksanakan ibadah,
misalnya ingin dilihat orang lain, dipuji dan disanjung-sanjung dan lain
sebagainya, berarti secara tidak sadar, diri kita sudah terjebak dalam lumpur
riya’. Lebih jelasnya bisa dilihat dari ciri-ciri seseorang yang terjangkit
penyakit riya’. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :
Empat macam tanda bukti orang yang riya’, yaitu :
- Malas ketika sedang sendirian.
- Sangat tangkas/giat dihadapan orang banyak.
- Amal ibadahnya meningkat ketika dipuji.
- Menurun ketika perilaku/ibadahnya dicela.
Empat macam ciri inilah yang dapat dipergunakan untuk
mengoreksi diri dalam setiap melaksanakan ibadah, dengan tujuan agar terhindar
dari penyakit riya’. Dan dengan bekal ilmu tentang ciri-ciri riya’ ini, maka
seseorang dapat mengoreksi dirinya barangkali sudah kerasukan penyakit yang
sangat berbahaya ini. Apabila seseorang senantiasa melakukan koreksi terhadap
gejala-gejala riya’ ini, akan senantiasa terhindar dari kehancuran amal
ibadahnya, sehingga semua amal ibadahnya akan diterima oleh Allah SWT.
Mengingat bila kita terjebak kedalam penyakit riya’ amal ibadah yang telah
dilakukan tidak membawa manfaat sama sekali, karena ditolak oleh Allah. Lebih
celaka lagi akan dimasukkan oleh Allah kedalam neraka jahannam.
Gambaran yang lebih jelas mengenai sifat riya’ yang
menggerogoti amal sholeh dan membawa kesia-siaan dan kehancuran. Sifat riya’
pada akhirnya hanyalah membawa penyesalan bagi pelakunya. Hal ini sebagaimana
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya yang panjang yang artinya
sebagai berikut : “Ketika tiba saat hari kiamat, Allah memutuskan semua urusan
makhluqnya, semuanya tunduk kepadaNya, yang dipanggil adalah pembaca Al-Quran,
lalu ditanyakan kepadanya : “Kamu telah mempelajari apa yang telah diwahyukan
kepada utusanKu?” Jawabnya : “Ya Tuhan”, “lalu apa yang kamu amalkan didalamnya?” “aku
membacanya dimalam ataupun disiang hari”. Kemudian Allah dan malaikat-Nya
menyanggahnya : “kamu telah berbohong, karena semua itu kamu lakukan hanya
karena dipuji orang, dan itu sudah terlaksana di dunia”. Yang kedua ialah para
hartawan, lalu ditanyakan kepadanya : “Harta yang Aku berikan kepadamu, kau
buat untuk apa saja?” Jawabnya : “Kubelanjakan demi menyambung sanak famili dan
disedekahkan”. Lalu disanggah oleh Allah dan malaikatNya : “Kamu bohong karena
semua itu kamu lakukan agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana”.
Yang ketiga adalah orang mati sabil (syahid), berperang dijalan Allah, lalu ditanyakan
kepadanya : “Kenapa kamu terbunuh?” jawabnya : “Berperang fi sabilillah”. Lalu
disanggah oleh Allah dan para MalaikatNya : “Kamu bohong, karena tujuanmu
supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah
terlaksana di dunia”.
Kata Abu Hurairah : “Lalu Rasulullah SAW. Menepuk lututku
seraya bersabda : “Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling
awal disiksa dineraka”. Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata : “Sungguh
benar Allah dan RasulNya, dia sitir Al-quran Surat Hud 15-16 :
“Barang siapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan
dan keindahan dunia, pasti kami sempurnakan balasannya didunia, sedikitpun
tidak dikurangi. Itulah orang-orang yang tidak ada balasannya diakhirat, kecuali
neraka, lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah pekerjaannya”.
Begitulah akhirnya perjalanan amal yang tidak disertai niat
yang ikhlas. Amal perbuatannya tidak mendapatkan pahala sama sekali, karena
ditolak oleh Allah. Pada akhirnya sangat memprihatinkan sekali karena harus
dimasukkan kedalam neraka jahannam, Na’udzu billah.(Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup
para wali"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar